Minggu, 27 April 2014

Filsafat pendidikan


BAGAIMANA MEMBANGUN PENDIDIKAN
 
         PENDAHULUAN
Bagaimana pendidikan nasional kita harus dibangun? Saat ini, khususnya di Indonesia, pendidikan sedang dalam sorotan. Banyak pihak dihinggapi kekhawatiran mengenai kualitas dan arah pendidikan nasional. Berbagai kritik dilontarkan terhadap sistem pendidikan. Pada gilirannya sebagai jawaban atas kekhawatiran tersebut, berbagai upaya perbaikan dilakukan dan dicobakan, mulai dari kurikulum, proses pendidikan sampai pada operasional yang  bersifat teknis. Namun hingga saat ini belum ditemukan konsep dan format sistem pendidikan yang dirasakan mampu memenuhi harapan. Perubahan kurikulum sering menjadi satu isu kontroversial. Perubahan-perubahan yang dilakukan masih nampak parsial dan belum mampu menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.
Secara garis besar, dua hal yang menjadi sorotan dan dikhawatirkan mengenai kualitas hasil pendidikan. Pertama; lulusan lembaga pendidikan  dianggap lemah dalam hal kemampuan keilmuan dan keterampilan hidup; dan kedua; kepribadian/karakter anak bangsa yang semakin jauh dari nilai-nilai  luhur yang diharapkan. Yang pertama banyak mendapat kritikan dari dunia usaha dalam kaitannya dengan lapangan kerja, dan yang kedua mendapat sorotan dari berbagai pihak berkaitan dengan kualitas kepribadian bangsa yang semakin memprihatinkan.
Melihat kondisi anak bangsa yang semakin mengkhawatirkan tersebut di atas, mungkin banyak faktor yang menjadi sebab, tentu kurang adil jika semua itu ditimpakan pada dunia pendidikan sepenuhnya. Tapi walau bagaimanapun, pendidikan sebagai pilar penyangga kepribadian generasi bangsa harus merasa memilki tanggung jawab yang lebih besar.
Berbagai upaya mengobati berbagai penyakit pendidikan telah dan sedang dilakukan oleh berbagai pihak. Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam memperbaiki kualitas pendidikan selama ini masih terbatas pada perubahan kurikulum dan perbaikan proses pembelajaran yang lebih bersifat teknis metodologis. Namun mengapa kondisi ali-alih membaik bahkan terasa semakin carut-marut? Apa yang salah, dan dimana letak akar permasalahan itu berada? Lantas apa yang sebenarnya harus kita lakukan?
Secara kelembagaan, di Indonesia terdapat dualisme pengelolaan pendidikan yakni kelembagaan yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan kelembagaan yang berada di bawah Kementerian Agama. Beberapa lembaga pendidikan formal yang diklaim sebagai pendidikan Islam antara lain adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Lembaga-lembaga pendidikan tersebut sering diklaim sebagai lembaga pendidikan Islam.
Terhadap fenomena dualisme kelembagaan pendidikan tersebut muncul pertanyaan apakah sebutan pendidikan Islam benar-benar mencerminkan sistem pendidikan yang dibangun di atas pondasi konsep-konsep pendidikan Islam? Apakah terdapat perbedaan esensial antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lembaga-lembaga pendidikan lain di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan? Apakah lulusan dari lembaga-lemabag pendidikan Islam memiliki perbedaan esensial dibanding dengan lulusan lembaga-lembaga pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?
Melihat kenyataan secara kasat mata di tataran praktis, orang akan dengan mudah memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaa tersebut dengan kata “TIDAK”. Lembaga-lembaga yang diklaim sebagai pendidikan Islam seperti MI, MTs, MA dan PTAI nampak “sama dan sebangun” dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain (tidak diklaim sebagai pendidikan Islam) seperti SD, SMP, SMA dan PT umum. Kalaupun ada perbedaan, maka hanya terletak pada beberapa hal yang bersifat atributif. Sistem dan proses pendidikan sama dan sebangun, demikian pula kurikulum yang diterapkan, kecuali satu hal yakni Pendidikan Agama Islam di lemabaga-lembaga pendidikan Islam memperoleh perluasan menjadi beberapa mata pelajaran (Aqiedah Akhlak, Quran-Hadits, Fiqih, SKI dan bahasa Arab). Itupun hanya bersifat penambahan materi. Sedangkan proses pembelajaran berlangsung tidak berbeda dengan Pendidikan Agama Islam di SD, SMP, SMA/SMK.
Demikian pula produk (peserta didik dan lulusanya)  tidak memperlihatkan perbedaan yang esensial. Keduanya memiliki problema yang sama, bahkan dari sisi kualitas lembaga pendidikan Islam secara umum sering dianggap lebih rendah di mata masayarakat (pemangku kepentingan). Problema lemahnya kualitas kepribadian produk pendidikan sama-sama menjadi penyakit yang saat ini sangat merisaukan. Secara umum prilaku anak-anak MI, Mts, MA tidak berbeda dengan prilaku anak-anak SD, SMP, SMA/SMK.
Pada gilirannya, fenomena tersebut memunculkan pertanyaan berikutnya. Apa yang salah dengan sistem pendidikan kita dewasa ini? Apa yang harus dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Islam untuk mengatasi permasalah pendidikan dewasa ini? Haruskah lembaga Pendidikan Islam memiliki jatidiri esensial dalam menjalankan proses pendidikannya? Dari mana kita harus mulai?
Dalam kaitan dengan persoalan tersebut, penulis melihat bahwa lembaga-lembaga pendidikan yang diklaim sebagai lebaga pendidikan Islam baru memasang atribut tanpa disertai dengan konsep pendidikan yang benar-benar diturunkan dari ajaran Islam baik dalam landasan, maupun prosesnya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi pendidikan bagi umat Islam dewasa ini, hal yang mendasar perlu dilakukan.
Tulisan pendek ini, sesuai dengan ruangan yang terbatas, akan mencoba menyampaikan refleksi pemikiran pada tataran yang lebih bersifat konsepsional. Penulis akan mencoba menguraikan pemikiran konsepsional pendidikan yang merupakan refleksi atas ajaran-ajaran Islam. Dalam kesempatan ini, tentu saja penulis hanya akan berbicara mengenai hakikat, tujuan serta landasan proses pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam. Penulis berharap pada kesempatan yang lain kita dapat berbicara ke arah yang lebih rinci pada tataran praktis bagaimana seharusnya lembaga pendidikan Islam dikelola sesuai dengan landasan konsep tersebut.


II.      PERJALANAN HIDUP MANUSIA
Sebelum berbicara mengenai bagaimana konsep dasar pendidikan sesuai dengan ajaran Islam, terlebih dahulu perlu ditelusuri bagaiamana garis perjalanan hidup manusia seperti diinformasikan oleh Alloh sang Pencipta manusia itu sendiri. Hal ini sangat penting agar konsep dasar pendidikan yang kita bangun benar-benar sesuai dengan kebutuhan manusia dalam menapaki kehidupannya di dunia. Melalaui konsep dasar tentang perjalanan hidup manusia, kita dapat menentukan dengan tepat bagaimana hakikat pendidikan, untuk apa pendidikan dan bagaimana pendidikan harus berjalan.
Islam menginformasikan bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk Alloh yang unik, yang sangat berbeda dengan mahluk Alloh lainya baik dalam bentuk, peran maupun karakteristiknya. Manusia  adalah satu-satunya mahluk Alloh yang mendapat peran terhormat sebagai khalifah Alloh di muka bumi. Manusia merupakan satu-satunya mahluk Alloh yang diberi kebebasan memilih, yang dengan kebebasan itu juga hanya manusia yang memiliki kemungkinan menjadi mahluk yang paling celaka.
Dari berbagai informasi yang bertebaran dalam Al-Quran, penulis melihat beberapa hal pokok yang merupakan konsep mendasar mengenai perjalanan manusia. Uraian berikut akan mencoba membahas konsep dasar mengenai perjalanan manusia yang penulis sarikan dari berbagai ayat quran dan hadits.
Secara visual, perjalanan hidup manusia nampak pada gambar berikut:


 
Sebelum manusia lahir, Alloh membuat perjanjian imani bahwa Alloh adalah Tuhan manusia, dan manusia bersaksi mengakui bahwa Alloh lah Tuhan kita[1]. Hal ini merupakan informasi yang sangat penting untuk dijadikan landasan dalam mengkaji perjalanan hidup manusia. Dengan informasi ini kita dapat mengatakan bahwa pada asalnya semua manusia beriman akan keesaan Alloh sebagai Tuhan Pencipta. Inilah salah satu fitrah (prototype)  manusia.
Dengan bahasa lain, manusia lahir kedunia dibekali dengan kecerdasan spirtual. Jauh di lubuk keasadaran manusia tertanam kesadaran akan Alloh sebagai Tuhannya (dalam isitilah Ary Ginajar disebut God Spot)[2]. Alloh sengaja mengadakan perjanjian ini agar kelak manusia tidak dapat mengelak saat imannya diminta pertanggung jawaban. Hal ini akan memunculkan pertanyaan; jika memang fitrah manusia itu beriman kepada Alloh, mengapa realitasnya banyak sekali manusia yang ingkar? Inilah pertanyaan yang menuntun kita untuk memikirkan bagaimana perjnalanan manusia dalam hidupnya di dunia ini.
Manusia lahir sebagai paduan tubuh dan spiritual[3], sebagai satu kesatuan nafsio-fisik[4]. Secara biologis manusia lahir mengikuti proses hereditas. Alloh menciptakan manusia secara bilogis melalui proses keturunan[5]. Manusia lahir dalam keadaan nol, tidak mengetahui apapun, namun, kecerdasan berfikir (IQ) dan merasa (SQ) juga dilengkapi potensi inderawi[6], dilengkapi dengan potensi ruhaniah yang berasal dari ruh Alloh[7]. Dengan demikian manusia lahir membawa bekal perjanjian imani (kecerdasan spritual), kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi.
Disamping itu, kedalam diri manusia, Alloh menanamkan dua potensi yang saling berhadapan yaitu potensi untuk jahat (fujur) dan potensi untuk taqwa[8]. Secara ekspternal, masing-masing potensi tersebut tersedia kekuatan yang membantu perkembangan masing-masing. Untuk potensi taqwa disediakan petunjuk (ad-din)[9]. Sedangkan untuk potensi fujur tersedia syetan yang selalu membawa manusia ke-arah kejahatan[10].
Dengan potensi fujur dan taqwa, manusia menjadi sangat berbeda dengan mahluk lain. Dua potensi tersebut sekaligus merupakan kebebasan memilih yang dipersilahkan Tuhan untuk dipilih manusia. Manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi yang mana. Tuhan menyediakan pula dua jalan[11] yang masing-masing akan ditempuh oleh ketaqwaan atau kejahatan. Dengan demikian manusia memiliki dua pilihan, apakah dia akan mengembangkan potensi taqwa atau mengembangkan potensi fujur. Dengan informasi ini perjalanan manusia memiliki probablitas berkembang ke dua arah, arah jahat atau arah taqwa.
Di satu pihak manusia memiliki peluang untuk berkembang ke arah jahat dan ke arah taqwa, dipihak lain Alloh memberi tugas agar manusia beribadah kepada Alloh (taqwa)[12] dan menjadi khalifah Alloh dimuka bumi[13]. Disamping itu manusia ditantang untuk mampu mencapai tujuan hidup yang hakiki yakni mencapai surga dalam keridoan Alloh[14]. Dengan potensi yang dimiliki serta probabilitas pengembangan potensi tersebut manusia akan berkembang ke dua arah.
Manusia akan beruntung mendapat surga dalam keridoan Alloh jika ia membersihkan dirinya (tazkiyatun-nafs) dari sifat fujur dengan mengembangkan sifat taqwa. Sebaliknya manusia akan rugi dan mendapatkan neraka dalam murka Alloh jika ia mengotori dirinya (dassiyatun-nafs) dengan sifat fujur[15].
Demikian secara ringkas, bagaimana perjalanan manusia sampai kehidupan kekal di akhirat kelak. Kehidupan akhirat seorang manusia ditentukan oleh perjalanan hidup dirinya di dunia. Manusia yang mampu membersihkan dirinya dari potensi fujur, dia akan kembali mengingat perjanjian dengan Tuhanya dan ia akan kembali kepada ridlo Tuhannya. Manusia yang malah mengotori dirinya dengan sifat fujur, dia tidak akan berhasil mengingat kembali perjanjian dengan Tuhanya dan dia akan rugi dan menuju neraka atas murka Tuhannya.

III.   MANUSIA DAN PENDIDIKAN
Dari konsep perjalanan manusia seperti telah diuraikan di atas, pertanyaan selanjutnya adalah di mana peran pendidikan bagi manusia dalam menapaki perjalanan yang memiliki dua kemungkinan tersebut? Peranan pendidikan dalam kehidupan manusia dapat digambarkan pada diagram berikut:
  

Skema peranan pendidikan dalam perjalanan hidup manusia dapat dijelaskan sebagai berikut:
Manusia sebagai mahluk nafsio-fisik yang diciptakan Tuhan dengan berbagai bekal (kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual) dan diikat suatu perjanjian dengan Tuhannya. Di pihak lain manusia merupakan mahluk yang pada saat dilahirkan dari perut ibunya dalam keadaan yang sangat lemah, baik nafsionya maupun fisiknya. Secara fisik manusia lahir dengan kemampuan yang sangat minim, inderanya belum berfungsi. Secara intelektual belum tahu apa-apa, dan dia hidup hanya dengan naluri hewaniah yang bahkan lebih lemah daripada hewan.
Manusia mulai hidup dari nol, berangkat menapaki jalan kehidupan dengan bekal kecerdasan dan fisik (indera) yang sempurna dalam bentuk energi potensial. Dia juga diberi kebebasan memilih dua jalan yang saling bertentangan. Secara eksternal dihadapkan pada malaikat, petunjuk di satu pihak dan juga syetan di lain pihak. Dia melangkah menuju dua titik, keridloan Tuhan dan  murka Tuhan. Kemana ia melangkah dipengaruhi oleh apa yang dia jumpai dan dia alami. Nabi menginformasikan bahwa manusia dilahirkan sesuai dengan fitrahnya (bersaksi bahwa Alloh adalah Tuhannya), orang tuanya (lingkungan yang dia alami) lah yang menjadikan dia seorang majusi, Yahudi atau nasrani.
Pengalaman hidup itulah yang akan mempengaruhi manusia apakah dia akan mengotori dirinya atau membersihkan dirinya. Untuk itu manusia dalam menapaki jalan kehidupannya senantiasa membutuhkan pertolongan dan bantuan. Dalam pemikiran filsafat dikenal istilah-istilah animal educandum(mahluk yang perlu dididik), animal educable (mahluk yang dapat dididik),  dan sekaligus homo educandus (mahluk yang bisa mendidik)[16]
Di satu pihak manusia diberi kemerdekaan memilih, apakah dia akan berjalan mengotori dirinya atau menapaki jalan membersihkan dirinya. Di lain pihak manusia tantang oleh Alloh untuk berjalan sebagai khalifah Alloh dengan taqwa menuju surga dalam keridloan-Nya. Berjalan sebagai khalifah Alloh di muka bumi menuju surga keridloan-Nya berarti dia harus mengingat kembali perjanjianya sebelum lahir, dan dia harus berupaya menapaki jalan membersihkan dirinya dari sifat fujur dan mengembangkan karakter taqwa. Disinilah pendidikan berperan. Pendidikan harus menjadi upaya membantu manusia mengingat kembali perjanjian imani. Pendidikan harus berperan membantu manusia membersihkan dirinya dari karakter fujur dan membantu manusi mengembangkan potensi taqwa.
Dengan demikian pendidikan berperan membantu manusia menemukan fitrah dirinya. Fitrah Alloh yang dengan fitrah itu manusia diciptakan. Nabi sendiri diutus Alloh untuk mendidik manusia membersihkan dirinya (innamal-buitstu liutamimma makarimal-akhlaq). Pendidikan dibutuhkan manusia untuk membantu dirinya dalam upaya membersihkan diri dari sifat-sifat fujur dan mengembangkan sifat-sifat taqwa.

IV.   KONSEP DASAR PENDIDIKAN ISLAM
A.    Asumsi Dasar Tentang Manusia dalam pandangan Islam
Untuk membangun kembali konsep dasar Pendidikan Islam, maka perlu dirumuskan beberapa asumsi dasar mengenai manusia dalam pandangan Islam. Berdasarkan uraian mengenai perjalanan manusia, dapat dirumuskan beberapa asumsi sebagai berikut[17]:
1.      Manusia adalah mahluk beriman yang telah mengikat perjian berupa pengakuan bahwa Alloh itulah Tuhan semesta alam. Dengan kata lain manusia memiliki potensi kecerdasan spiritual sebagai pusat gravitasi kehidupannya.[18]
2.      Manusia dibekali kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektual melalui hati nurani, otak/akal dengan segala kekuatan inderawi sebagai isntrumen berfikir.
3.      Dengan bekal kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektualnya manusia diberi kemungkinan berkembang ke arah fujur (jahat) atau ke arah taqwa. Secara eksternal Tuhan menyiapkan petunjuk (Aajaran Islam) untuk membantu manusia membersihkan dirinya dan mengembangkan potensi taqwa, dipihak lain Tuhan menyiapkan Syetan yang akan membawa manusia mengkotori dirinya dengan mengembangkan sifat fujur.
4.      Dengan membawa semua bekal dalam bentuk energi potensial itu, manusia dilahirkan dalam keadaan nol (tidak mengetahui apapun)
5.      Perkembangan manusia ke arah mana dia berjalan sangat dipengaruhi oleh apa yang dia alami dalam berinteraksi dengan lingkungan hidupnya.
6.      Perjalanan manusia dalam kehidupannya di dunia diberi tugas untuk beribadah kepada Alloh dan menjadi khalifah Alloh di muka bumi.
7.      Manusia ditantang oleh Alloh agar dia berjalan menuju surga dalam keridloan Alloh.
Berdasarkan asumsi tersebut, dapat dibangun rumusan konsep dasar pendidikan Islam terutama mengenai hakikat pendidikan Islam, Tujuan pendidikan Islam serta Proses pendidikan Islam.

B.     Hakikat Pendidikan Islam
Bertitik tolak dari asumsi dasar tentang manusi tersebut, maka dapatlah dibangun pemikiran bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah upaya yang dilakukan secara sengaja, sadar dan terencana untuk membantu manusia mengembangkan sifat taqwa dan membersihkan dirinya dari pengaruh syaitoniah.[19] Secara sederhana dapatlah dirumuskan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah Tazkiyatu-Nafs.[20]
Rumusan hakikat pendidikan seperti ini, diharapkan menjadi landasan untuk merumuskan berbagai unsur asasi pendidikan, baik itu tujuan pendidikan maupun proses pendidikan dengan segala ilmu bantunya. Dengan perumusan kembali hakikat pendidikan, tujuan pendidikan dan asas-asas proses pendidikan Islam, diperlukan pengembangan cabang ilmu yang khusus membahas tentang kepribadian manusia seperti psikologi dalam ilmu-sekuler. Dalam kaitan ini, Sukanto telah merintis nafsiologi sebagai alternatif terhadap psikologi, juga kajian unik tentang pengembangan manusia yang dirintis oleh Ary Ginanjar melalui buku-buku dan training ESQ.
Tazkiyatun-nafs sebagai konsep dasar pendidikan Islam akan menempatkan pendidikan pada landasan asasi pembentukan karakter generasi Robbani yang berakhlakul karimah sebagaimana dicita-citakan semua pihak. Dengan hakikat pendidikan seperti ini maka seluruh komponen dan praktek pendidikan mengarah pada pensucian diri manusia.
C.    Tujuan Pendidikan Islam
Berdasarkan landasan konsep perjalanan manusia dari lahir menuju mardlotilah dengan tujuh asumsi dasar tentang manusia, setelah kita rumuskan hakikat pendidikan, selanjutkan dapat kita turunkan tujuan pendidikan. Dengan konsep dasar hakikat pendidikan seperti diuraikan di atas, maka tujuan pendidikan dapat kita uraikan sebagai berikut:
Pertama: Manusia pada asalnya memiliki kesadaran spiritual yang telah mengikat perjanjian Imaniyah dengan Alloh. Akan tetapi karena disatu pihak manusia diberi kebebasan memilih dua jalan dan dilengkapi dengan potensi fujur serta secara eksternal dihadapkan pada godaan syaitoniyah, maka manusia memiliki kemungkinan melupakan kesadaran spritual tersebut. Berbagai godaan syaitoniyah dari arah eksternal yang bersambut dengan potensi fujur secara internal dapat menutupi kesadaran akan perjanjian imaniyah yang telah diikrarkannya.
Apakah seorang manusia akan melupakan kesadaran imaniyah atau terus mengingatnya tergantung pada pengalaman hidup yang dilaluinya. Agar manusia dapat mengingat dan memelihara kesadaran imaniyah tersebut, maka harus ada upaya yang sengaja dan tencana untuk itu yang dilakukan oleh manusia lain yang memiliki kesadaran imaniyah yang kuat yang kemudian kita sebut pendidikan. Dengan demikian tujuan  pendidikan Islam yang pertama adalah membantu manusia mengasah kecerdasan spritual agar mampu mengingat kembali dan memelihara prjanjian imaniyah sehingga manusia benar-benar mengenal Alloh sebagai Tuhannya.
Kedua: Manusia lahir dalam keadaan nol yang disatu pihak dilengkapi dengan dua potensi yang saling bertentangan (fujur dan taqwa) dan di pihak lain manusia ditantang untuk berjalan menuju ridlo Alloh. Ridlo Alloh (keberuntungan) hanya dapat dicapai oleh manusia yang membersihkan nafsaniyah. Sedangkan manusia yang mengotori nafsaniyahnya dengan mengembangkan potensi fujur tidak akan mampu memenuhi tujuan hidup mardlotillah, dia akan menjadi manusia rugi menuju murka Alloh dengan neraka sebagai tempat kembali.
Apakah dalam perjalanan hidupnya seorang manusia akan mampu membersihkan nafsaniyahnya atau malah mengotorinya tergantung pada pengalaman hidup yang ia terima dari lingkungannya. Agar manusia dapat membersihkan nafsaniyahnya, maka harus ada upaya yang sengaja dan terencana untuk itu yang dilakukan oleh manusia lain yang telah mampu membersihkan nafsaniyahnya, yang kemudian kita sebut pendidikan. Dengan demikian tujuan  pendidikan yang kedua adalah membantu manusia membersihkan nafsaniyahnya dari segala potensi fujur dengan mengembangkan potensi taqwa menjadi energi kinetik dalam kehidupan insan kamil.
 Ke-tiga : Manusia dilahirkan ke dunia membawa peran ganda, sebagai hamaba yang harus mengabdi kepada Alloh dan sebagai khalifatulloh fil ardli yang harus menjabarkan sifat-sifat Tuhan dalam memelihara dan memanfaatkan alam. Untuk keperluan itu, manusia dibekali kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi dengan segala perangkatnya (otak, indra dan hati) melebihi mahluk lain. Oleh karena itu tujuan ke-tiga dari pendidikan adalah membantu manusia mengasah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi  sehingga mampu mempelajari ayat-ayat Alloh (Quraniyah dan kauniyah)

D.    Proses Tazkiyatun-nafs
Proses pendidikan adalah rangkaian kegiatan yang dibangun atas dasar hakikat pendidikan menuju tercapainya tujuan pendidikan. Dengan demikian proses pendidikan Islam harus bertitik tolak dari hakikat pendidikan yakni Tazkiyatun-nafs bergerak menuju tercapainya tujuan pendidikan. Proses pendidikan harus dirumuskan sedemikian rupa berdasarkan asumsi-asumsi dasar tentang manusia yang merupakan refleksi dari ajaran Islam dalam kaitannya dengan pendidikan.
Untuk menjamin proses pendidikan tetap konsisten dengan hakikat pendidikan atas dasar asumsi tentang manusia tersebut, serta bergerak menuju tujuan pendidikan seperti telah dirumuskan, maka diperlukan penyusunan ulang dasar-dasar proses proses pendidikan yang sesuai. Pada kesempatan ini, sesuai dengan tujuan penulisan sebagai refleksi filosofis, tentunya penulis hanya akan mengemukakan prinsif-prinsif dasar atau asas-asas proses pendidikan berdasarkan konsep tazkiyatun-nafs. Pada giliriannya perumusan kembali proses tazkiyatun-naf perlu diturunkan pada tataran teori-teori ilmiyah yang tentunya memerlukan ilmu bantu seperti nafsiologi, dan unsur-unsur ilmu pendidikan lainnya.
Berikut beberapa konsep dasar proses tazkiyatun-nafs sesuai dengan hakikat tazkiyatun-nafs yang diharapkan dapat mencapai tujuan tazkiyatun-nafs.
Pertama, proses tazkiyatun-nafs harus berisi aktivitas-aktivitas yang mampu membawa peserta didik mengenal Alloh melalui aktivitas fikir dan dzikir dalam setiap keadaan. Aktivitas fikir dan dzikir ini  dijabarkan dalam segala bentuk kegiatan menjadi ruh kurikulum, baik real-curiculum maupun hidden-curiculum. Dalam waktu yang bersamaan siswa harus diperkenalkan bagaimana cara mendeteksi godaan-godaan syaitoniyah, baik yang datang dari internal nafsaniyah maupun datang dari eksternal (jin dan manusia), yang akan menggiring siswa melupakan ikrar imaniyah yang pada gilirannya menutup kecerdasan spritual siswa.
Dalam hal ini, kemampuan siswa menangkal godaan syaithoniyah bukan hanya dalam bentuk pengajaran dan latihan saja, melainkan lembaga tazkiyatun-nafs harus menciptakan sarana/prasarana serta lingkungan pendidikan yang mampu membentengi siswa dari pengaruh syaithoniyah yang masih berada di atas kemampuan siswa untuk membentenginya sendiri.
Kedua, proses tazkiyatun-nafs harus berisi aktivitas yang mampu mengasah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi siswa. Segenap kelengkapan kecerdasam ini (termasuk sensitivitas indera) harus benar-benar dilatih secara paripurna. Kegiatan ini didorong dan diarahkan agar siswa menjadi manusia yang memiliki kemampuan melaksanakan tugas ibadah dan khilafah dalam arti yang luas. Kegiatan pokok dalam proses tazkiyatun-nafs dititikberatkan pada kemampuan belajar, bukan pada transfer of konowledge.
Dalam kaitan dengan proses tazkiyatun-nafs ini, diperlukan kajian ulang terhadap persoalan bagaimana manusia belajar, bagaimana manusia berfikir dan merasa, tentunya dalam konteks manusia sabagai kesatuan nafsio-fisik[21]. Perlu dilakukan penelitian dan kaji ulang bagaimana hubungan antara indera-otak-hati dalam berfikir dan belajar. Hasil kajian tersebut sangat dibutuhkan oleh Ilmu tazkiyatun-nafs dalam merumuskan proses tazkiyatun-nafs.
Ketiga, proses tazkiyatun-nafs berisi kegiatan pembersihan nafsaniyah siswa sifat-sifat fujur dan dalam waktu yang bersamaan mampu mengembangkan sifat-sifat taqwa yang sudah ditanamkan Alloh pada saat penyempurnaan nafsinnya. Semua aktivitas tazkiyatun-nafs baik dalam bentuk pengajaran maupun latihan diciptakan sedemikian rupa mengandung unsur pembersihan sifat-sifat fujur dan mengembangkan sifat-sifat taqwa. Proses ini harus masuk baik ke seluruh unsur pembelajaran baik pada bahan ajar, sekenario pembelajaran maupun pada manajemen kelas. Proses ini juga harus menjadi ruh kurikulum baik dalam real-curiculum maupun dalam bentuk hidden-curiculum.
Berkaitan dengan landasan ke-tiga proses tazkiyatun-nafs, maka nafsiologi menjadi salah satu ilmu yang harus dikuasai terutama oleh tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan lainnya. Dalam nafsiologi dipelajari bagaimana potensi fujur dan potensi taqwa dalam diri manusia harus diolah melalui proses tazkiyatun-nafs.
Demikianlah tiga konsep dasar landasan prosesn pendidikan Islam (tazkiyatun-nafs) yang dibangun di atas asumsi dasar tentang manusia untuk mencapai tujuan penididikan. Tiga landasan proses tazkiyatun-nafs tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dijabarkan ke dalam ilmu pendidikan islam, melalui pengembangan pemikiran dan penelitian.


V.      PENUTUP
Pemikiran yang bersifat mendasar tentang pendidikan Islam tidak dapat dihentikan dengan anggapan bahwa filsafat pendidikan Islam sudah tersedia. Betul bahwa filsafat pendidikan Islam telah berkembang sejak dulu, namun dalam pandangan penulis, pemikiran filsafat pendidikan Islam yang sudah ada perlu terus menerus disempurnakan, lebih-lebih saat ini kita menyaksikan dunia pendidikan, khususnya di Indonesia seperti kehilangan ruh. Lembaga pendidikan Islam berjalan terseok-seok mengikuti arus pendidikan sekuler yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.
Harapan penulis, melalui pemikiran sederhana ini dapat terus menerus melahirkan diskusi tentang perumusan kembali filsafat Pendidikan Islam. Pada gilirannya pemikiran ini akan diikuti oleh berbabagai pemikiran dan penelitian lebih lanjut di dunia operasional agas landasan Pendidikan Islam ini dapat dioperasionalkan lebih lanjut. Semoga.

Daftar Pustaka
Ary Ginanjar Agustian, (2003), ESQ POWER Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan, Jakarta: Penerbit Arga
Bahrun Abu Bakar, (1986), Terjemahan Tafir Al-Maraghi, Semarang: CV Toha Putera
Hasan Langgulung, (1987), Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna
Heris Hermawan, (2012), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarat: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI

Sukanto, (1985), NAFSIOLOGI suatu pendekatan alternatif atas psikologi, Jakarta: Integrita Press
----------, dan Dardiri Hasyim, (1995), NAFSIOLOGI Refleksi Analisis tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia, Surabaya: Rislah Gusti
Suparlan, (2004), Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dari Konspesi sampai dengan Implementasi, Yogyakarta: Hikayat Publishing


[1] Quran surat 7 : 172
[2] Ary Ginanjar, 2003:133
[3] Ibid :96
[4] Sukanto, 1985:40
[5] Quran surat 25:12-14
[6] Quran surat 16:78
[7] Quran surat 15:29
[8] Quran surat 91:7-8
[9] Quran surat 2 : 3
[10] Quran surat 43:37; 35:5
[11] Quran surat 90:10
[12] Quran surat 51:56
[13] Quran surat 2 : 30

[15] Quran surat 91: 9-10
[16]  Suparlan, 2004:25
[17]  Bandingkan dengan Prinsip-prinsip Yang Menjadi Dasar Pandangan Islam terhadap Manusia yang dikemukakan oleh Hasan Langgulung dalam bukunya Asas-asas Pendidikan Islam, hal 53-54
[18]  Istilah pusat garavitasi spiritual (God Spot) dikemukakan oleh Ary Ginanjar dalam bukunya Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power.
[19]   Pengaruh syaitoniah meliputi seluruh elemen pengalaman manusia baik berasal dari dalam dirinya (hawa nafsu) maupun dari luar yang membawa manusia ke jalan sesat.
[20]   Dalam surat Al-jumu’ah (62) : 2 diinformasikan “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,”
[21] Perhatikan konsep-konsep yang telah dirintis oleh Sukanto, dalam merintis nafsiologi dan konsep-konsepAry Ginanjar yang merintis ESQ