BAGAIMANA MEMBANGUN PENDIDIKAN
PENDAHULUAN
Bagaimana pendidikan nasional kita harus dibangun? Saat
ini, khususnya di Indonesia, pendidikan sedang dalam sorotan. Banyak pihak
dihinggapi kekhawatiran mengenai kualitas dan arah pendidikan nasional.
Berbagai kritik dilontarkan terhadap sistem pendidikan. Pada gilirannya sebagai
jawaban atas kekhawatiran tersebut, berbagai upaya perbaikan dilakukan dan
dicobakan, mulai dari kurikulum, proses pendidikan sampai pada operasional yang
bersifat teknis. Namun hingga saat ini
belum ditemukan konsep dan format sistem pendidikan yang dirasakan mampu
memenuhi harapan. Perubahan kurikulum sering menjadi satu isu kontroversial.
Perubahan-perubahan yang dilakukan masih nampak parsial dan belum mampu
menyentuh akar persoalan yang sebenarnya.
Secara
garis besar, dua hal yang menjadi sorotan dan dikhawatirkan mengenai kualitas
hasil pendidikan. Pertama; lulusan lembaga pendidikan dianggap lemah dalam hal kemampuan keilmuan
dan keterampilan hidup; dan kedua; kepribadian/karakter anak bangsa yang
semakin jauh dari nilai-nilai luhur yang
diharapkan. Yang pertama banyak mendapat kritikan dari dunia usaha dalam
kaitannya dengan lapangan kerja, dan yang kedua mendapat sorotan dari berbagai
pihak berkaitan dengan kualitas kepribadian bangsa yang semakin memprihatinkan.
Melihat
kondisi anak bangsa yang semakin mengkhawatirkan tersebut di atas, mungkin
banyak faktor yang menjadi sebab, tentu kurang adil jika semua itu ditimpakan
pada dunia pendidikan sepenuhnya. Tapi walau bagaimanapun, pendidikan sebagai
pilar penyangga kepribadian generasi bangsa harus merasa memilki tanggung jawab
yang lebih besar.
Berbagai
upaya mengobati berbagai penyakit pendidikan telah dan sedang dilakukan oleh
berbagai pihak. Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam memperbaiki kualitas
pendidikan selama ini masih terbatas pada perubahan kurikulum dan perbaikan
proses pembelajaran yang lebih bersifat teknis metodologis. Namun mengapa
kondisi ali-alih membaik bahkan terasa semakin carut-marut? Apa yang salah, dan
dimana letak akar permasalahan itu berada? Lantas apa yang sebenarnya harus
kita lakukan?
Secara
kelembagaan, di Indonesia terdapat dualisme pengelolaan pendidikan yakni
kelembagaan yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan kelembagaan
yang berada di bawah Kementerian Agama. Beberapa lembaga pendidikan formal yang
diklaim sebagai pendidikan Islam antara lain adalah Madrasah Ibtidaiyah (MI),
Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) dan Perguruan Tinggi Agama
Islam (PTAI). Lembaga-lembaga pendidikan tersebut sering diklaim sebagai
lembaga pendidikan Islam.
Terhadap
fenomena dualisme kelembagaan pendidikan tersebut muncul pertanyaan apakah
sebutan pendidikan Islam benar-benar mencerminkan sistem pendidikan yang
dibangun di atas pondasi konsep-konsep pendidikan Islam? Apakah terdapat
perbedaan esensial antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan
lembaga-lembaga pendidikan lain di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?
Apakah lulusan dari lembaga-lemabag pendidikan Islam memiliki perbedaan
esensial dibanding dengan lulusan lembaga-lembaga pendidikan di bawah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan?
Melihat
kenyataan secara kasat mata di tataran praktis, orang akan dengan mudah
memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaa tersebut dengan kata “TIDAK”. Lembaga-lembaga
yang diklaim sebagai pendidikan Islam seperti MI, MTs, MA dan PTAI nampak “sama
dan sebangun” dengan lembaga-lembaga pendidikan yang lain (tidak diklaim
sebagai pendidikan Islam) seperti SD, SMP, SMA dan PT umum. Kalaupun ada
perbedaan, maka hanya terletak pada beberapa hal yang bersifat atributif.
Sistem dan proses pendidikan sama dan sebangun, demikian pula kurikulum yang
diterapkan, kecuali satu hal yakni Pendidikan Agama Islam di lemabaga-lembaga
pendidikan Islam memperoleh perluasan menjadi beberapa mata pelajaran (Aqiedah
Akhlak, Quran-Hadits, Fiqih, SKI dan bahasa Arab). Itupun hanya bersifat
penambahan materi. Sedangkan proses pembelajaran berlangsung tidak berbeda
dengan Pendidikan Agama Islam di SD, SMP, SMA/SMK.
Demikian
pula produk (peserta didik dan lulusanya)
tidak memperlihatkan perbedaan yang esensial. Keduanya memiliki problema
yang sama, bahkan dari sisi kualitas lembaga pendidikan Islam secara umum
sering dianggap lebih rendah di mata masayarakat (pemangku kepentingan).
Problema lemahnya kualitas kepribadian produk pendidikan sama-sama menjadi
penyakit yang saat ini sangat merisaukan. Secara umum prilaku anak-anak MI, Mts,
MA tidak berbeda dengan prilaku anak-anak SD, SMP, SMA/SMK.
Pada
gilirannya, fenomena tersebut memunculkan pertanyaan berikutnya. Apa yang salah
dengan sistem pendidikan kita dewasa ini? Apa yang harus dilakukan oleh Lembaga
Pendidikan Islam untuk mengatasi permasalah pendidikan dewasa ini? Haruskah
lembaga Pendidikan Islam memiliki jatidiri esensial dalam menjalankan proses
pendidikannya? Dari mana kita harus mulai?
Dalam
kaitan dengan persoalan tersebut, penulis melihat bahwa lembaga-lembaga
pendidikan yang diklaim sebagai lebaga pendidikan Islam baru memasang atribut
tanpa disertai dengan konsep pendidikan yang benar-benar diturunkan dari ajaran
Islam baik dalam landasan, maupun prosesnya. Oleh karena itu, untuk memperbaiki
kondisi pendidikan bagi umat Islam dewasa ini, hal yang mendasar perlu
dilakukan.
Tulisan
pendek ini, sesuai dengan ruangan yang terbatas, akan mencoba menyampaikan
refleksi pemikiran pada tataran yang lebih bersifat konsepsional. Penulis akan
mencoba menguraikan pemikiran konsepsional pendidikan yang merupakan refleksi
atas ajaran-ajaran Islam. Dalam kesempatan ini, tentu saja penulis hanya akan
berbicara mengenai hakikat, tujuan serta landasan proses pendidikan yang sesuai
dengan ajaran Islam. Penulis berharap pada kesempatan yang lain kita dapat
berbicara ke arah yang lebih rinci pada tataran praktis bagaimana seharusnya
lembaga pendidikan Islam dikelola sesuai dengan landasan konsep tersebut.
II. PERJALANAN HIDUP MANUSIA
Sebelum
berbicara mengenai bagaimana konsep dasar pendidikan sesuai dengan ajaran
Islam, terlebih dahulu perlu ditelusuri bagaiamana garis perjalanan hidup
manusia seperti diinformasikan oleh Alloh sang Pencipta manusia itu sendiri.
Hal ini sangat penting agar konsep dasar pendidikan yang kita bangun
benar-benar sesuai dengan kebutuhan manusia dalam menapaki kehidupannya di
dunia. Melalaui konsep dasar tentang perjalanan hidup manusia, kita dapat
menentukan dengan tepat bagaimana hakikat pendidikan, untuk apa pendidikan dan bagaimana
pendidikan harus berjalan.
Islam
menginformasikan bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk Alloh yang unik, yang
sangat berbeda dengan mahluk Alloh lainya baik dalam bentuk, peran maupun
karakteristiknya. Manusia adalah
satu-satunya mahluk Alloh yang mendapat peran terhormat sebagai khalifah Alloh
di muka bumi. Manusia merupakan satu-satunya mahluk Alloh yang diberi kebebasan
memilih, yang dengan kebebasan itu juga hanya manusia yang memiliki kemungkinan
menjadi mahluk yang paling celaka.
Dari
berbagai informasi yang bertebaran dalam Al-Quran, penulis melihat beberapa hal
pokok yang merupakan konsep mendasar mengenai perjalanan manusia. Uraian
berikut akan mencoba membahas konsep dasar mengenai perjalanan manusia yang
penulis sarikan dari berbagai ayat quran dan hadits.
Secara
visual, perjalanan hidup manusia nampak pada gambar berikut:
Sebelum
manusia lahir, Alloh membuat perjanjian imani bahwa Alloh adalah Tuhan manusia,
dan manusia bersaksi mengakui bahwa Alloh lah Tuhan kita[1].
Hal ini merupakan informasi yang sangat penting untuk dijadikan landasan dalam
mengkaji perjalanan hidup manusia. Dengan informasi ini kita dapat mengatakan
bahwa pada asalnya semua manusia beriman akan keesaan Alloh sebagai Tuhan
Pencipta. Inilah salah satu fitrah (prototype)
manusia.
Dengan
bahasa lain, manusia lahir kedunia dibekali dengan kecerdasan spirtual. Jauh di
lubuk keasadaran manusia tertanam kesadaran akan Alloh sebagai Tuhannya (dalam
isitilah Ary Ginajar disebut God Spot)[2]. Alloh
sengaja mengadakan perjanjian ini agar kelak manusia tidak dapat mengelak saat
imannya diminta pertanggung jawaban. Hal ini akan memunculkan pertanyaan; jika
memang fitrah manusia itu beriman kepada Alloh, mengapa realitasnya banyak
sekali manusia yang ingkar? Inilah pertanyaan yang menuntun kita untuk
memikirkan bagaimana perjnalanan manusia dalam hidupnya di dunia ini.
Manusia
lahir sebagai paduan tubuh dan spiritual[3],
sebagai satu kesatuan nafsio-fisik[4].
Secara biologis manusia lahir mengikuti proses hereditas. Alloh menciptakan
manusia secara bilogis melalui proses keturunan[5].
Manusia lahir dalam keadaan nol, tidak mengetahui apapun, namun, kecerdasan
berfikir (IQ) dan merasa (SQ) juga dilengkapi potensi inderawi[6], dilengkapi
dengan potensi ruhaniah yang berasal dari ruh Alloh[7].
Dengan demikian manusia lahir membawa bekal perjanjian imani (kecerdasan
spritual), kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi.
Disamping
itu, kedalam diri manusia, Alloh menanamkan dua potensi yang saling berhadapan
yaitu potensi untuk jahat (fujur) dan
potensi untuk taqwa[8].
Secara ekspternal, masing-masing potensi tersebut tersedia kekuatan yang
membantu perkembangan masing-masing. Untuk potensi taqwa disediakan petunjuk
(ad-din)[9].
Sedangkan untuk potensi fujur
tersedia syetan yang selalu membawa manusia ke-arah kejahatan[10].
Dengan
potensi fujur dan taqwa, manusia menjadi sangat berbeda dengan mahluk lain. Dua
potensi tersebut sekaligus merupakan kebebasan memilih yang dipersilahkan Tuhan
untuk dipilih manusia. Manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensi
yang mana. Tuhan menyediakan pula dua jalan[11]
yang masing-masing akan ditempuh oleh ketaqwaan atau kejahatan. Dengan demikian
manusia memiliki dua pilihan, apakah dia akan mengembangkan potensi taqwa atau
mengembangkan potensi fujur. Dengan
informasi ini perjalanan manusia memiliki probablitas berkembang ke dua arah,
arah jahat atau arah taqwa.
Di
satu pihak manusia memiliki peluang untuk berkembang ke arah jahat dan ke arah
taqwa, dipihak lain Alloh memberi tugas agar manusia beribadah kepada Alloh
(taqwa)[12]
dan menjadi khalifah Alloh dimuka bumi[13].
Disamping itu manusia ditantang untuk mampu mencapai tujuan hidup yang hakiki
yakni mencapai surga dalam keridoan Alloh[14].
Dengan potensi yang dimiliki serta probabilitas pengembangan potensi tersebut
manusia akan berkembang ke dua arah.
Manusia
akan beruntung mendapat surga dalam keridoan Alloh jika ia membersihkan dirinya
(tazkiyatun-nafs) dari sifat fujur
dengan mengembangkan sifat taqwa. Sebaliknya manusia akan rugi dan mendapatkan neraka
dalam murka Alloh jika ia mengotori dirinya (dassiyatun-nafs) dengan sifat fujur[15].
Demikian
secara ringkas, bagaimana perjalanan manusia sampai kehidupan kekal di akhirat
kelak. Kehidupan akhirat seorang manusia ditentukan oleh perjalanan hidup dirinya
di dunia. Manusia yang mampu membersihkan dirinya dari potensi fujur, dia akan
kembali mengingat perjanjian dengan Tuhanya dan ia akan kembali kepada ridlo
Tuhannya. Manusia yang malah mengotori dirinya dengan sifat fujur, dia tidak akan berhasil mengingat
kembali perjanjian dengan Tuhanya dan dia akan rugi dan menuju neraka atas
murka Tuhannya.
III. MANUSIA DAN PENDIDIKAN
Dari
konsep perjalanan manusia seperti telah diuraikan di atas, pertanyaan
selanjutnya adalah di mana peran pendidikan bagi manusia dalam menapaki
perjalanan yang memiliki dua kemungkinan tersebut? Peranan pendidikan dalam
kehidupan manusia dapat digambarkan pada diagram berikut:
Skema
peranan pendidikan dalam perjalanan hidup manusia dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Manusia
sebagai mahluk nafsio-fisik yang
diciptakan Tuhan dengan berbagai bekal (kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosi, dan kecerdasan spiritual) dan diikat suatu perjanjian dengan Tuhannya.
Di pihak lain manusia merupakan mahluk yang pada saat dilahirkan dari perut
ibunya dalam keadaan yang sangat lemah, baik nafsionya maupun fisiknya. Secara
fisik manusia lahir dengan kemampuan yang sangat minim, inderanya belum
berfungsi. Secara intelektual belum tahu apa-apa, dan dia hidup hanya dengan
naluri hewaniah yang bahkan lebih lemah daripada hewan.
Manusia
mulai hidup dari nol, berangkat menapaki jalan kehidupan dengan bekal
kecerdasan dan fisik (indera) yang sempurna dalam bentuk energi potensial. Dia
juga diberi kebebasan memilih dua jalan yang saling bertentangan. Secara
eksternal dihadapkan pada malaikat, petunjuk di satu pihak dan juga syetan di
lain pihak. Dia melangkah menuju dua titik, keridloan Tuhan dan murka Tuhan. Kemana ia melangkah dipengaruhi
oleh apa yang dia jumpai dan dia alami. Nabi menginformasikan bahwa manusia
dilahirkan sesuai dengan fitrahnya (bersaksi bahwa Alloh adalah Tuhannya),
orang tuanya (lingkungan yang dia alami) lah yang menjadikan dia seorang
majusi, Yahudi atau nasrani.
Pengalaman
hidup itulah yang akan mempengaruhi manusia apakah dia akan mengotori dirinya atau
membersihkan dirinya. Untuk itu manusia dalam menapaki jalan kehidupannya
senantiasa membutuhkan pertolongan dan bantuan. Dalam pemikiran filsafat dikenal
istilah-istilah animal educandum(mahluk
yang perlu dididik), animal educable (mahluk
yang dapat dididik), dan
sekaligus homo educandus (mahluk yang bisa mendidik)[16]
Di
satu pihak manusia diberi kemerdekaan memilih, apakah dia akan berjalan
mengotori dirinya atau menapaki jalan membersihkan dirinya. Di lain pihak
manusia tantang oleh Alloh untuk berjalan sebagai khalifah Alloh dengan taqwa
menuju surga dalam keridloan-Nya. Berjalan sebagai khalifah Alloh di muka bumi
menuju surga keridloan-Nya berarti dia harus mengingat kembali perjanjianya
sebelum lahir, dan dia harus berupaya menapaki jalan membersihkan dirinya dari
sifat fujur dan mengembangkan karakter taqwa. Disinilah pendidikan berperan.
Pendidikan harus menjadi upaya membantu manusia mengingat kembali perjanjian
imani. Pendidikan harus berperan membantu manusia membersihkan dirinya dari
karakter fujur dan membantu manusi
mengembangkan potensi taqwa.
Dengan
demikian pendidikan berperan membantu manusia menemukan fitrah dirinya. Fitrah
Alloh yang dengan fitrah itu manusia diciptakan. Nabi sendiri diutus Alloh
untuk mendidik manusia membersihkan dirinya (innamal-buitstu liutamimma makarimal-akhlaq). Pendidikan dibutuhkan
manusia untuk membantu dirinya dalam upaya membersihkan diri dari sifat-sifat fujur dan mengembangkan sifat-sifat taqwa.
IV. KONSEP DASAR PENDIDIKAN ISLAM
A.
Asumsi
Dasar Tentang Manusia dalam pandangan Islam
Untuk
membangun kembali konsep dasar Pendidikan Islam, maka perlu dirumuskan beberapa
asumsi dasar mengenai manusia dalam pandangan Islam. Berdasarkan uraian
mengenai perjalanan manusia, dapat dirumuskan beberapa asumsi sebagai berikut[17]:
1. Manusia
adalah mahluk beriman yang telah mengikat perjian berupa pengakuan bahwa Alloh
itulah Tuhan semesta alam. Dengan kata lain manusia memiliki potensi kecerdasan
spiritual sebagai pusat gravitasi kehidupannya.[18]
2. Manusia
dibekali kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektual melalui hati nurani,
otak/akal dengan segala kekuatan inderawi sebagai isntrumen berfikir.
3. Dengan
bekal kecerdasan emosi dan kecerdasan intelektualnya manusia diberi kemungkinan
berkembang ke arah fujur (jahat) atau
ke arah taqwa. Secara eksternal Tuhan menyiapkan petunjuk (Aajaran Islam) untuk
membantu manusia membersihkan dirinya dan mengembangkan potensi taqwa, dipihak
lain Tuhan menyiapkan Syetan yang akan membawa manusia mengkotori dirinya dengan
mengembangkan sifat fujur.
4. Dengan
membawa semua bekal dalam bentuk energi potensial itu, manusia dilahirkan dalam
keadaan nol (tidak mengetahui apapun)
5. Perkembangan
manusia ke arah mana dia berjalan sangat dipengaruhi oleh apa yang dia alami
dalam berinteraksi dengan lingkungan hidupnya.
6. Perjalanan
manusia dalam kehidupannya di dunia diberi tugas untuk beribadah kepada Alloh
dan menjadi khalifah Alloh di muka bumi.
7. Manusia
ditantang oleh Alloh agar dia berjalan menuju surga dalam keridloan Alloh.
Berdasarkan
asumsi tersebut, dapat dibangun rumusan konsep dasar pendidikan Islam terutama
mengenai hakikat pendidikan Islam, Tujuan pendidikan Islam serta Proses
pendidikan Islam.
B.
Hakikat
Pendidikan Islam
Bertitik
tolak dari asumsi dasar tentang manusi tersebut, maka dapatlah dibangun
pemikiran bahwa pada hakikatnya pendidikan adalah upaya yang dilakukan secara
sengaja, sadar dan terencana untuk membantu manusia mengembangkan sifat taqwa
dan membersihkan dirinya dari pengaruh syaitoniah.[19]
Secara sederhana dapatlah dirumuskan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah Tazkiyatu-Nafs.[20]
Rumusan
hakikat pendidikan seperti ini, diharapkan menjadi landasan untuk merumuskan
berbagai unsur asasi pendidikan, baik itu tujuan pendidikan maupun proses pendidikan
dengan segala ilmu bantunya. Dengan perumusan kembali hakikat pendidikan,
tujuan pendidikan dan asas-asas proses pendidikan Islam, diperlukan
pengembangan cabang ilmu yang khusus membahas tentang kepribadian manusia
seperti psikologi dalam ilmu-sekuler. Dalam kaitan ini, Sukanto telah merintis nafsiologi sebagai alternatif terhadap
psikologi, juga kajian unik tentang pengembangan manusia yang dirintis oleh Ary
Ginanjar melalui buku-buku dan training ESQ.
Tazkiyatun-nafs
sebagai konsep dasar pendidikan Islam akan menempatkan pendidikan pada landasan
asasi pembentukan karakter generasi Robbani yang berakhlakul karimah
sebagaimana dicita-citakan semua pihak. Dengan hakikat pendidikan seperti ini
maka seluruh komponen dan praktek pendidikan mengarah pada pensucian diri
manusia.
C.
Tujuan
Pendidikan Islam
Berdasarkan
landasan konsep perjalanan manusia dari lahir menuju mardlotilah dengan tujuh
asumsi dasar tentang manusia, setelah kita rumuskan hakikat pendidikan,
selanjutkan dapat kita turunkan tujuan pendidikan. Dengan konsep dasar hakikat
pendidikan seperti diuraikan di atas, maka tujuan pendidikan dapat kita uraikan
sebagai berikut:
Pertama:
Manusia pada asalnya memiliki kesadaran spiritual yang telah mengikat
perjanjian Imaniyah dengan Alloh. Akan tetapi karena disatu pihak manusia
diberi kebebasan memilih dua jalan dan dilengkapi dengan potensi fujur serta secara eksternal dihadapkan
pada godaan syaitoniyah, maka manusia memiliki kemungkinan melupakan kesadaran
spritual tersebut. Berbagai godaan syaitoniyah dari arah eksternal yang
bersambut dengan potensi fujur secara
internal dapat menutupi kesadaran akan perjanjian imaniyah yang telah diikrarkannya.
Apakah
seorang manusia akan melupakan kesadaran imaniyah atau terus mengingatnya
tergantung pada pengalaman hidup yang dilaluinya. Agar manusia dapat mengingat
dan memelihara kesadaran imaniyah tersebut, maka harus ada upaya yang sengaja
dan tencana untuk itu yang dilakukan oleh manusia lain yang memiliki kesadaran
imaniyah yang kuat yang kemudian kita sebut pendidikan. Dengan demikian
tujuan pendidikan Islam yang pertama
adalah membantu manusia mengasah
kecerdasan spritual agar mampu mengingat kembali dan memelihara prjanjian
imaniyah sehingga manusia benar-benar mengenal Alloh sebagai Tuhannya.
Kedua: Manusia
lahir dalam keadaan nol yang disatu pihak dilengkapi dengan dua potensi yang
saling bertentangan (fujur dan taqwa) dan di pihak lain manusia
ditantang untuk berjalan menuju ridlo Alloh. Ridlo Alloh (keberuntungan) hanya
dapat dicapai oleh manusia yang membersihkan nafsaniyah. Sedangkan manusia yang
mengotori nafsaniyahnya dengan mengembangkan potensi fujur tidak akan mampu memenuhi tujuan hidup mardlotillah, dia akan
menjadi manusia rugi menuju murka Alloh dengan neraka sebagai tempat kembali.
Apakah
dalam perjalanan hidupnya seorang manusia akan mampu membersihkan nafsaniyahnya
atau malah mengotorinya tergantung pada pengalaman hidup yang ia terima dari
lingkungannya. Agar manusia dapat membersihkan nafsaniyahnya, maka harus ada
upaya yang sengaja dan terencana untuk itu yang dilakukan oleh manusia lain
yang telah mampu membersihkan nafsaniyahnya, yang kemudian kita sebut
pendidikan. Dengan demikian tujuan
pendidikan yang kedua adalah membantu manusia membersihkan nafsaniyahnya
dari segala potensi fujur dengan
mengembangkan potensi taqwa menjadi energi kinetik dalam kehidupan insan kamil.
Ke-tiga
: Manusia dilahirkan ke dunia membawa peran ganda, sebagai hamaba yang
harus mengabdi kepada Alloh dan sebagai khalifatulloh fil ardli yang harus menjabarkan
sifat-sifat Tuhan dalam memelihara dan memanfaatkan alam. Untuk keperluan itu,
manusia dibekali kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi dengan segala
perangkatnya (otak, indra dan hati) melebihi mahluk lain. Oleh karena itu
tujuan ke-tiga dari pendidikan adalah membantu
manusia mengasah kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi sehingga mampu mempelajari ayat-ayat Alloh
(Quraniyah dan kauniyah)
D.
Proses
Tazkiyatun-nafs
Proses
pendidikan adalah rangkaian kegiatan yang dibangun atas dasar hakikat
pendidikan menuju tercapainya tujuan pendidikan. Dengan demikian proses
pendidikan Islam harus bertitik tolak dari hakikat pendidikan yakni Tazkiyatun-nafs
bergerak menuju tercapainya tujuan pendidikan. Proses pendidikan harus
dirumuskan sedemikian rupa berdasarkan asumsi-asumsi dasar tentang manusia yang
merupakan refleksi dari ajaran Islam dalam kaitannya dengan pendidikan.
Untuk
menjamin proses pendidikan tetap konsisten dengan hakikat pendidikan atas dasar
asumsi tentang manusia tersebut, serta bergerak menuju tujuan pendidikan
seperti telah dirumuskan, maka diperlukan penyusunan ulang dasar-dasar proses
proses pendidikan yang sesuai. Pada kesempatan ini, sesuai dengan tujuan penulisan
sebagai refleksi filosofis, tentunya penulis hanya akan mengemukakan
prinsif-prinsif dasar atau asas-asas proses pendidikan berdasarkan konsep tazkiyatun-nafs.
Pada giliriannya perumusan kembali proses tazkiyatun-naf perlu diturunkan pada
tataran teori-teori ilmiyah yang tentunya memerlukan ilmu bantu seperti
nafsiologi, dan unsur-unsur ilmu pendidikan lainnya.
Berikut
beberapa konsep dasar proses tazkiyatun-nafs sesuai dengan
hakikat tazkiyatun-nafs yang diharapkan dapat mencapai tujuan tazkiyatun-nafs.
Pertama,
proses tazkiyatun-nafs harus berisi aktivitas-aktivitas yang mampu
membawa peserta didik mengenal Alloh melalui aktivitas fikir dan dzikir dalam
setiap keadaan. Aktivitas fikir dan dzikir ini
dijabarkan dalam segala bentuk kegiatan menjadi ruh kurikulum, baik real-curiculum maupun hidden-curiculum. Dalam waktu yang
bersamaan siswa harus diperkenalkan bagaimana cara mendeteksi godaan-godaan
syaitoniyah, baik yang datang dari internal nafsaniyah maupun datang dari
eksternal (jin dan manusia), yang akan menggiring siswa melupakan ikrar
imaniyah yang pada gilirannya menutup kecerdasan spritual siswa.
Dalam
hal ini, kemampuan siswa menangkal godaan syaithoniyah bukan hanya dalam bentuk
pengajaran dan latihan saja, melainkan lembaga tazkiyatun-nafs harus
menciptakan sarana/prasarana serta lingkungan pendidikan yang mampu membentengi
siswa dari pengaruh syaithoniyah yang masih berada di atas kemampuan siswa
untuk membentenginya sendiri.
Kedua,
proses tazkiyatun-nafs harus berisi aktivitas yang mampu mengasah
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosi siswa. Segenap kelengkapan
kecerdasam ini (termasuk sensitivitas indera) harus benar-benar dilatih secara
paripurna. Kegiatan ini didorong dan diarahkan agar siswa menjadi manusia yang
memiliki kemampuan melaksanakan tugas ibadah dan khilafah dalam arti yang luas.
Kegiatan pokok dalam proses tazkiyatun-nafs dititikberatkan pada
kemampuan belajar, bukan pada transfer of
konowledge.
Dalam
kaitan dengan proses tazkiyatun-nafs ini, diperlukan kajian
ulang terhadap persoalan bagaimana manusia belajar, bagaimana manusia berfikir
dan merasa, tentunya dalam konteks manusia sabagai kesatuan nafsio-fisik[21]. Perlu dilakukan penelitian dan kaji
ulang bagaimana hubungan antara indera-otak-hati dalam berfikir dan belajar.
Hasil kajian tersebut sangat dibutuhkan oleh Ilmu tazkiyatun-nafs dalam
merumuskan proses tazkiyatun-nafs.
Ketiga, proses
tazkiyatun-nafs
berisi kegiatan pembersihan nafsaniyah siswa sifat-sifat fujur dan dalam waktu
yang bersamaan mampu mengembangkan sifat-sifat taqwa yang sudah ditanamkan
Alloh pada saat penyempurnaan nafsinnya. Semua aktivitas tazkiyatun-nafs baik
dalam bentuk pengajaran maupun latihan diciptakan sedemikian rupa mengandung
unsur pembersihan sifat-sifat fujur dan mengembangkan sifat-sifat taqwa. Proses
ini harus masuk baik ke seluruh unsur pembelajaran baik pada bahan ajar,
sekenario pembelajaran maupun pada manajemen kelas. Proses ini juga harus
menjadi ruh kurikulum baik dalam real-curiculum
maupun dalam bentuk hidden-curiculum.
Berkaitan
dengan landasan ke-tiga proses tazkiyatun-nafs, maka nafsiologi
menjadi salah satu ilmu yang harus dikuasai terutama oleh tenaga pendidik
maupun tenaga kependidikan lainnya. Dalam nafsiologi dipelajari bagaimana
potensi fujur dan potensi taqwa dalam diri manusia harus diolah
melalui proses tazkiyatun-nafs.
Demikianlah
tiga konsep dasar landasan prosesn pendidikan Islam (tazkiyatun-nafs) yang
dibangun di atas asumsi dasar tentang manusia untuk mencapai tujuan
penididikan. Tiga landasan proses tazkiyatun-nafs tersebut merupakan
satu kesatuan yang harus dijabarkan ke dalam ilmu pendidikan islam, melalui
pengembangan pemikiran dan penelitian.
V. PENUTUP
Pemikiran
yang bersifat mendasar tentang pendidikan Islam tidak dapat dihentikan dengan anggapan
bahwa filsafat pendidikan Islam sudah tersedia. Betul bahwa filsafat pendidikan
Islam telah berkembang sejak dulu, namun dalam pandangan penulis, pemikiran
filsafat pendidikan Islam yang sudah ada perlu terus menerus disempurnakan,
lebih-lebih saat ini kita menyaksikan dunia pendidikan, khususnya di Indonesia
seperti kehilangan ruh. Lembaga pendidikan Islam berjalan terseok-seok
mengikuti arus pendidikan sekuler yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.
Harapan
penulis, melalui pemikiran sederhana ini dapat terus menerus melahirkan diskusi
tentang perumusan kembali filsafat Pendidikan Islam. Pada gilirannya pemikiran
ini akan diikuti oleh berbabagai pemikiran dan penelitian lebih lanjut di dunia
operasional agas landasan Pendidikan Islam ini dapat dioperasionalkan lebih
lanjut. Semoga.
Daftar
Pustaka
Ary Ginanjar Agustian, (2003), ESQ POWER Sebuah Inner Journey Melalui
Al-Ihsan, Jakarta: Penerbit Arga
Bahrun Abu Bakar, (1986), Terjemahan Tafir Al-Maraghi, Semarang:
CV Toha Putera
Hasan Langgulung, (1987), Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta:
Pustaka Al-Husna
Heris Hermawan, (2012), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarat: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama RI
Sukanto, (1985), NAFSIOLOGI suatu pendekatan alternatif atas
psikologi, Jakarta: Integrita Press
----------, dan Dardiri Hasyim,
(1995), NAFSIOLOGI Refleksi Analisis
tentang Diri dan Tingkah Laku Manusia, Surabaya: Rislah Gusti
Suparlan, (2004), Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dari Konspesi
sampai dengan Implementasi, Yogyakarta: Hikayat Publishing
[1] Quran
surat 7 : 172
[2] Ary
Ginanjar, 2003:133
[3] Ibid :96
[4] Sukanto,
1985:40
[5] Quran
surat 25:12-14
[6] Quran
surat 16:78
[7] Quran
surat 15:29
[8] Quran
surat 91:7-8
[9] Quran
surat 2 : 3
[10] Quran
surat 43:37; 35:5
[11] Quran
surat 90:10
[12] Quran
surat 51:56
[13] Quran
surat 2 : 30
[15] Quran
surat 91: 9-10
[16] Suparlan, 2004:25
[17] Bandingkan dengan Prinsip-prinsip Yang Menjadi
Dasar Pandangan Islam terhadap Manusia yang dikemukakan oleh Hasan Langgulung
dalam bukunya Asas-asas Pendidikan Islam,
hal 53-54
[18] Istilah pusat garavitasi spiritual (God Spot)
dikemukakan oleh Ary Ginanjar dalam bukunya Rahasia
Sukses Membangkitkan ESQ Power.
[19] Pengaruh syaitoniah meliputi seluruh elemen
pengalaman manusia baik berasal dari dalam dirinya (hawa nafsu) maupun dari
luar yang membawa manusia ke jalan sesat.
[20] Dalam surat Al-jumu’ah (62) : 2
diinformasikan “Dia-lah yang mengutus kepada
kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan
ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka
Kitab dan Hikmah (As sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar
dalam kesesatan yang nyata,”
[21]
Perhatikan konsep-konsep yang telah dirintis oleh Sukanto, dalam merintis
nafsiologi dan konsep-konsepAry Ginanjar yang merintis ESQ